MAKALAH GENDER

Gambar

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1  LATAR BELAKANG

 

Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus gender sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”.

Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.

Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: xxvi)

Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah gender itu sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender tersebut.

Bertolak dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender.  Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang tindih antara masalah-masalah perempuan  yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam konteks Indonesia.

1.2  TUJUAN

Setelah membaca materi ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mampu mengetahui tentang perspektif gender. Di samping itu mahasiswa mwngwtahui tentang pengertian seks dan gender, gender dan stratifikasi, gender dan sosialisasi, gender dan pekerjaan, gender dan pendidikan.

Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan tentang ”Perspektif Gender”

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN

  1. 1.     Sex (Jenis Kelamin Biologis)

Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, pada perbedaan tubuh antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dikemukakan oleh Moore dan Sinclair (1995:117) “ Sex reffers to biological deferencer between man and woman, the result of differences in the chromosomes of the embryo”. Definisi konsep seks tersebut menekankan pada perbedaan yang disebabkan perbedaan kromosom pada janin.

Sebagaimana dikemikakan oleh Keshtan 1995, jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tidak dapat di ubah. Sebagai contoh: hanya perempuan yang dapat hamil dan hanya laki-laki yang menjadikan perempuan hamil.

Seks adalah karakteristik biologis seseorang yang melekat sejak lahir dan tidak bisa diubah kecuali dengan operasi. Alat-alat tersebut menjadi dasar seseorang dikenali jenis kelaminnya sebagain perempuan atau laki-laki.

Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.

Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.

  1. 2.     Gender (Jenis Kelamin Sosial)

Menuruut Giddens (1989:158) konsep gender menyangkut tentang “ Psycological,  social and  cultural differences between males and females “, yaitu perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan.

Macionis (1996:240) mendefinisikan gender sebagai “ the significance a society attaches to biological cathegories of female and male”, yaitu arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan.

Laswell and Laswell (1987:51) menafsirkan gender sebagai “ The knowledge and awareness, whether concious pr unconcious, that one belong to one sex and not to the other”, yaitu pada pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak bahwa seseorang tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu  dan bukan dalam jenis kelamin lain.

Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561).

Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4).

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang. Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.

Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.

  1. 3.     Teori-teori Gender

Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap penting dan cukup populer.

  1. Teori Struktural-Fungsional

Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).

Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 56). Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah suatu yang wajar (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik. Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula. Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di tengah-tengah masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53).

  1. Teori Sosial-Konflik

Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya, akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 76). Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-lakiperempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat.

Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins. Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa sistem sosial secara sistematis menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang takterhindarkan dalam semua sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 81).

Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan (Nasaruddin Umar, 1999: 62).

Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91.

  1. Teori Feminisme Liberal

Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228).

Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.

  1. Teori Feminisme Marxis-Sosialis

Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999: 225).

Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik. Pekerjaan domistik dianggap pekerjaan tidak produktif. Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).

  1. Teori Feminisme Radikal

Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri (Ratna Megawangi, 1999: 226).

Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.

  1. Teori Ekofeminisme

Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189).

Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk  dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Contoh nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna Megawangi, 1999: 183).

  1. Teori Psikoanalisa

Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999:46).

Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi sosial berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 41).

Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati.

Itulah beberapa teori-teori gender yang dapat digunakan untuk memahami berbagai persoalan gender dalam kehidupan kita. Tentu saja masih banyak lagi teori Gender bukanlah kodrat atau ketentuan dari sang pencipta. Misalnya keyakinan bahwa laki-laki itu kuat, kasar dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut dan emosional, bukanlah ketentuan kodrat sang pencipta, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang.

2.2  GENDER DAN SOSIALISASI

  1. Pengertian Sosialisasi

Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekat pada benak masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari suatu proses sesaat melainkan telah melalui suatu proses dialektika, konstruksi sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan secara evolusional dalam jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran agama, negara, keluarga maupun budaya masyarakat, sehingga perlahan-lahan citra tersebut mempengaruhi masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara biologis dan psikologis.

Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi manusia masyarakat dan “beradab”.

Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang. (Soelaeman, 1998:109)

Kedirian sebagai suatu produk sosialisasi, merupakan kesadarn terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya. Adapun asal mula timbulnya kedirian antara lain karena:

a)   Dalam proses sosialisasi seseorang mendapat bayangan dirinya, yaitu setelah memperhatikan cara orang lain memandang dan memperlakukan dirinya. Misalnya, apakah dirinya dianggap baik, buruk, pintar, cantik dan sebagainya.

b)  Dalam proses sosialisasi juga membentuk kedirian yang ideal. Orang yang bersangkutan mengetahui dengan pasti apa-apa yang harus dia lakukan agar memperoleh penghargaan dari orang lain.

Proses sosisalisasi sebenarnya berawal dari dalam keluarga. Gambaran diri seseorang merupakan pantulan perhatian yang diberikan keluarga kepada dirinya. Persepsinya tentang diri, tentang dunia dan masyarakat sekelilingnya secara langsung dipengaruhi oleh tindakan dan keyakinan keluarganya. Sehingga nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang individu dan berbagai peran yang diharapkan dilakukan olehnya, smeua berawal dari dalam lingkungan sendiri.

Proses sosialisasi ini tidak berhenti sampai pada keluarga saja, tapi masih ada lembaga lain. Cohan (1983) mengatakan bahwa lembaga-lembaga sosialisasi yang terpenting ialah keluarga, sekolah, kelompok sebaya dan media massa.

Sosialisasi pada dasarnya menunjuk pada semua faktor dan proses yang membuat setiap manusia menjadi selaras dalam hidupnya di tengah-tengah orang lain. Sehingga meskipun proses sosialisasi yang dijalani setiap orang tidak selalu sama, namun secara umum sasaran sosialisasi itu sendiri hampir sama di berbagai tempat dan budaya, yaitu antara lain:

a)   Individu harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di masyarakat.

b)  Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuannya.

c)   Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.

d)  Bertingkah laku selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat umumnya.

  1. Sosialisasi  Peran Gender

Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu merupakan sebuah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah juga dilakukan tidak hanya melalui lembaga keluarga dan lembaga adat, melainkan juga oleh lembaga negara dan lembaga pendidikan.

Pranata sosial yang kita masuki sebagai individu, sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal” berperilaku sesuai dengan gendernya.(Mosse, 1996:63)

Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi’ seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk “menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.

Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara, dari mulai pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai dengan ketentuan sosial budaya setempat.

Pembedaan identitas berdasarkan gender  tersebut telah ada jauh sebelum seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya lingkungan yang menyambutnya dengan serangkaian tuntutan peran gender. Akibatnya jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari landasan kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat pun lantas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan. Dan sampai sejauh ini yang sering menjadi korban adalah kaum perempuan.

Penjajahan kultural yang demikian panjang dan membuat perempuan lebih banyak menjadi korban itu terus dilestarikan. Rasionalisasi kultural inilah yang pada gilirannya membuat perempuan secara psikologis mengidap sesuatu yang oleh Collete Dowling disebut Cinderella Complex, suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum wanita merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh. (Ibrahim dan Suranto, 1998:xxvi)

Pemapanan citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai seorang ibu dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai “urusan perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak, berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki, disosialisasikan secara lebih positif, dimana dikatakan bahwa laki-laki karena kelebihan yang dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani dengan “urusan-urusan laki-laki” pula dan lebih sering berhubungan dengan sektor publik, seperti mencari nafkah, dengan profesi yang lebih bervariasi daripada perempuan. Kesemua itu disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar melalui buku-buku pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan bahwa tugas utama seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping” suami, dan itulah yang diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai “kodrat wanita.”

  1. Agen Sosialisasi Gender
  • Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender

Sosialisasi gender berawal dari keluarga, keluargalah yang mula-mula mengajarkan kepada anak laki-laki untuk menganut sifat maskulin dan seorang anak perempuan untuk menganut sifat feminin. Melalui pembelajaran gender (Gender learning) yaitu proses pembelajaran femininitas dan maskulinitas yang berlangsung sejak dini. Seseorang mempelajari peran gender (gender role) yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.

Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas ge nder ialah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan yang berbeda untuk tiap jenis kelamin. (sex differentiated toys atau gender-typed toys). Meskipun sewaktu masih bayi seorang anak diberi mainan berupa boneka, namun boneka yang diberikan kepada bayi laki-laki cenderung berbeda dengan boneka yang diberikan kepada bayi perempuan. Kalo bayi perempuan diberikan boneka yang menggambarkan wanita yang cantik, atau hewan yang halus seperti kelinci, tapi kalau bayi laki-laki diberi boneka yang menggambarkan seorang pria yang gagah seperti seekor hewan buas: macan atau beruang.

  • Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender

Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi gender yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak di bidang sosial gender. Kelompok bermain menjalankan peran yang cukup besar, dijumpai segregasi menurut jenis kelamin, yaitu: anak perempuan bermain dengan anak perempuan sedangkan anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki merupakan suatu kebiasaan yang cenderung memperkuat identitas gender. Pola segregasi menurut jenis kelamin/ sex bermula pad usia pra sekolah ini cenderung bertahan di kala anak-anak memasuki sekolah dan bahkan sering berlanjut sampai pendidikan tinggi.

Sebagai agen sosial, kelompok bermainpun menetapkan kontrol sosial  bagi anggota yang tidak mentaati peraturannya. Seorang anak laki-laki yang mamilih untuk bermain dengan kelompok perempuan cenderung di cap ”sissy” atau ’banci” dan menghadapi resiko dikucilkan. Hal serupa juga dihadapi oleh anak perempuan yang cenderung bermain dengan anak laki-laki di cap sebagai ’tomboy’.

  • Sekolah Sebagai Agen Sosialisasi Gender

Sebagai agen sosialisasi gender sekolah menerapkan pembelajaran gender malalui media utamanya yaitu kurikulum formal. Dalam pelajaran prakarya, misalnya ada sekolah yang memisahkan siswa dengan siswi agar masing-masing dapat diberi pelajaran yang berbeda. Siswi misalnya dapat diminta mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi rumah tangga sedangkan siswa mwmpelajari hal yang berhubungan dengan tehnik pertukangan.

Pembellajaran lain berlangsung melalui apa yang Moore and Sinclair (1995) dinamakan kurikulum terselubung (hidden curriculum) , para guru sering memperlakukan siswi secara berbeda dengan siswa. Perilaku yang ditolerir bila dilakukan siswa tetapi tidak dapat ditolerir bila dilakukan siswi.

  • Media masa sebagai agen sosialisasi gender

Sebagimana hlnya seperti buku kriteria untuk kanak-kanak dan remaja serta buku pelajaran di sekolah, maka media masa pun sangat berperan dalam sosialisasi gender. Baik melaui pemberitaanyya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yang dipasang di dalamnya. Media masa baik media cetak maupun elektronik, sering memuat iklan menunjang sterotip gender (Gender Sterotyped Advertising). Iklan yang mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga seperti: sabun cuci, bumbu masak, minyak goreng, pembersih lantai, dsb cenderung menampilkan perempuan sebagi peran ibu rumah tangga, sedangkan iklan yang mempromosikan produk mewah yang merupakan simbol status kesuksesan dalam pekerjaan cenderung menampilkan laki-laki. Meskipun iklan yang menampilkan perempuan di ranah publik banyakn namun iklan yang diperankan perempuan cenderung posisi pekerjaan rendah dalam organisasi, seperti misalnya peran sebagai receptionist, pramugari, sekretaris atau kasir dan bukan pada jabatan berstatus tinggi seperti misalnya presiden direktur bank atau kapten penerbangan.

2.3  GENDER DAN STRATIFIKASI

Pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan mendatangkan masalah jika  pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Meski ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga bermunculanlah gerakan-gerakan perjuangan gender.

Ketidakadilan gender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan mengalami apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi.

  1. Pengertian StratifikasI

Bila ditinjau dari asal katanya, istilah stratifikasi berasal dari kata stratus yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga dengan istilah stratifikasi diperoleh gambaran bahwa dalam tiap kelompok masyarakat selalu terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai yang berkedudukan rendah, berlapis-lapis dari atas ke bawah.

Pelapisan sosial dalam masyarakat tersebut terjadi karena adanya “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat tersebut. Misalnya, berupa pemilikian uang atau benda-benda ekonomis lainnya seperti mobil, rumah, benda-benda elektronik dan lain sebagainya. Pemilikan kekuasaan, ilmu pengetahuan, agama atau keturunan keluarga. Untuk selanjutnya masyarakat dinilai dan ditempatkan pada lapisan-lapisan tertentu berdasarkan tingkat kemampuannya dalam memiliki “sesuatu” yang dihargai tersebut.

Proses terjadinya pelapisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya atau sengaja disusun untuk mencapai satu tujuan bersama, misalnya pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal.

Disamping itu, pelapisan dalam masyarakat juga bisa bersifat tertutup, dimana didalamnya tidak memungkinkan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lain, baik gerak pindahnya ke atas maupun ke bawah. Misalnya, penempatan seseorang dalam lapisan tertentu yang diperoleh berdasarkan kelahiran. Contoh paling banyak terdapat pada masyarakat dengan sistem kasta, masyarakat feodal dan masyarakat rasial. Sementara pada masyarakat dengan sistem pelapisan terbuka, setiap orang mempunyai kesempatan untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi tetapi juga  dimungkinkan untuk jatuh ke lapisan yang lebih rendah.

  1. Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender

Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak mau kita harus melihat kembali pada proses sosialisasi  yang telah mengawali pemapanan pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender.

Selama ini telah disosialisasikan, ditanamkan  sedemikian rupa, ke dalam benak, ke dalam pribadi-pribadi seseorang, laki-laki dan perempaun, bahwa karena “kodrat”-nya seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk mendapat kebebasan, mendapat kesempatan yang lebih luas daripada perempuan. Tuntutan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang laki-laki untuk lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang perempuan. Akibatnya segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada masing-masing dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tersebut pun disesuaikan dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kepada laki-laki diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu lebih tinggi daripada kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan. Kepada kaum laki-laki pula dibuka pintu selebar-lebarnya untuk bekerja di berbagai sektor publik dalam dunia pekerjaan yang dianggap maskulin, sementara perempuan lebih diarahkan untuk masuk ke sektor domestik dengan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini memang dianggap sebagai “urusan” perempuan.

Bertolak dari kondisi tersebut maka akses perempuan terhadap “sesuatu” yang dihargai dalam masyarakat, yang menjadi sumber kelahiran pelapisan dalam masyarakat pun menjadi sangat rendah. Sehingga kaum perempuan dengan segala keterbatasan yang sudah ditentukan oleh masyarakat untuknya terpaksa menempati lapisan yang lebih rendah di masyarakat daripada kaum laki-laki.

Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk:

a)   Marginalisasi

Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki.

Demikian juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan.

Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidaklah dianggap “bekerja” karena pekerjaan yang dilakukannya, seberapapun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik) maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum laki-laki.

Mengenai marginalisasi perempuan ini, Ivan Illich mengungkapkan sebuah fakta sebagai berikut:

Selama bertahun-tahun ini, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang berupah, yang terkena pajak, dan yang dilaporkan atau dipantau secara resmi, kedalamannya tidak berubah namun volumenya makin bertambah. Kini 51 % perempuan di Amerika Serikat bekerja di luar rumah, sementara tahun 1880 hanya tercatat 5%. Jika pada tahun 1880 dalam keseluruhan tenaga kerja di Amerika hanya 15% yang perempuan sekarang mencapai 42%. Kini separuh dari semua perempuan yang sudah kawin punya penghasilan sendiri dari suatu pekerjaan luar rumah, sementara seabad silam hanya 5% yang memiliki pendapatan sendiri. Sekarang hukum membuka kesempatan pendidikan serta karier bagi perempuan, sedangkan pada tahun 1880 banyak yang tertutup baginya. Sekarang rata-rata perempuan menghabiskan 28 tahun sepanjang hidupnya untuk bekerja sementara tahun 1880 angka rata-rata yang tercatat hanya 5 tahun. Ini semua kelihatan seperti langkah-langkah penting ke arah kesetaraan ekonomis, tapi tunggu sampai Anda terapkan alat ukur yang tepat. Upah rata-rata tahunan perempuan yang bekerja penuh-waktu masih mandek pada rasio magis dibanding pendapatan laki-laki, yakni 3:5 —-59%, dengan kenaikan atau penurunan 3% — persis persentase seratus tahun silam. Kesempatan pendidikan, ketersediaan perlindungan hukum, retorika revolusioner — politis, teknologis, atau seksual —tak mengubah apa-apa sehubungan dengan rendahnya pendapatan perempuan dibanding laki-laki. (1998:16)

b)     Subordinasi

Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.

Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.

Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi  dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi.

Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76)

Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki – yang – tidak lengakap. (Ibid.)

2.4  GENDER DAN PENDIDIKAN

Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung bahkan melarang keikutsertaan wanita dalam pendidikan formal. Ada nilai yang mengemukakan bahwa ” wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga”. Ada yang mengatakan bahwa wanita harus menempuh pendidikan yang dianggap oleh orang tuanya sesuai dengan kodrat wanita dan ada yang berpandangan bahwa ”seorang gadis sebaiknya menikah pada usia muda agar tidak menjadi perawan tua”. Atas dasar nilai dan aturan demikian yang ada masyarakat yang mengizinkan wanita bersekolah tapi hanya sampai pada jenjang tertentu atau dalam jenis pendidikan tertentu saja. Ada pula masyarakat yang sama sekali tidak membenarkan anak gadisnya untuk bersekolah. Sebagai akibat ketidaksamaaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal. Prestasi akademik maupun motivasi belajar sering bukan  merupakan penghambat partisipasi wanita, karena siswi yang berprestasi pun sering tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

2.5  GENDER DAN PEKERJAAN

Apabila orang membahas pekerjaan yang dilakukan wanita maka yang dibayangkan mungkin hanyalah pekerjaan yang dijumpai di ranah publik: pekerjaan  di tempat kerja formal seperti pabrik dan kantor, pekerjaan dalam perekonomian formal. Pada umumnya orang melupakan bahwa di rumahpun wanita sering melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan dana. Ada yang menawarkan berbagai jenis jasa, ada yang melakukan perdagangan eceran, memproduksi hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan maupun produk lain yang dipasarkan.

Moore and Sinclair (1995) mendefinisikan dua macam segregasi jenis kelamin dalam angkatan kerja yaitu segregasi vertikal dan segregasi horizontal. Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerjaan wanita pada jenjang rendah pada organisasi, seperti misalnya jabatan pramuniaga, sales promotion girl, pramusaji, tenaga kebersihan pramugari, pengasuh anak, sekretaris, kasir, dan sebagainya. Sedangkan segregasi horizontal mengacu pada kenyataan bahwa pekerjaan wanita sering terkonsentrasi pada jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan laki-laki, memberi kesan seakan-akna jenis pekerjaan tertentu relatif tertutup bagi kaum wanita seperti misalnya di bidang ilmu pengatahuan alam dan technologi.

2.6  GENDER DALAM KESEHATAN

Kesehatan reproduksi mencakup proses reproduksi, fungsi-fungsi dan sistem reproduksi dan semua tahap kahidupan. Kesehatan reproduksi berimplikasi bahwa orang akan mendapat kehidupan seksual yang bertanggung jawab, memuaskan, serta aman: dan mereka mendapat kemampuan untuk reproduksi dan kebebasan untuk menentukan kapan dan bagaimana bereproduksi. Secara implisit berarti laki-laki dan perempuan mempunyai hak untuk diberitahu dan mendapatkan akses untuk metode fertilitas  yang aman, efektif, dapat dijangkau dan dapat diterima sesuai dengan pilihan mereka. Mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan memungkinkan wanita mendapatkan keamanan ketika hamil dan melahirkan dan menyediakan layanan agar pasangan mendapatkan kesempatan yang baik untuk melahirkan bayi yang sehat.

Akses untuk kesehatan reproduksi dan pelayanan kesehatan seksual termasuk keluarga berencana antara lain: konseling KB, pelayanan pre-natal, kelahiran yang aman, pelayanan post-natal, pencegahan dan penanganan yang layak untuk infertilitas, pencegahan aborsi dan manajemen konsekuensi aborsi, pengobatan ”reproductive tract infection” penyakit menular seksual (PMS), an kondisi kesehatan reprodksi yang lain. Pelayanan untuk HIV/AIDS, cancer, infertilitas, kelahiran dan aborsi harur tersedia dalam pelayanan kesehatan reproduksi.

  1. Tiga generasi kependudukan dan KB:

–        Program pengendalian penduduk ke negara-negara berkembang karena ketidakcukupan pangan

–        Akar permasalahan adalah faktor kemiskinan yang memicu pertambahan penduduk, selanjutnya perlu pengembangan alat kontrasepsi yang ampuh untuk menghambat laju pertambahan penduduk.

–        Ketidak berdayaan wanita dalam proses pertambahan penduduk, hal ini terbukti dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) di negara-negara berkembang

Dalam pelayanan KB, perempuan dikorbankan untuk pencapaian target kependudukan menurut survey di puskesmas. Petugas rekruitmen KB adalah PLKB sedangkan pelayan dan penerima keluhan adalah puskesmas. Sehingga sering adanya subordinasi antara keduanya. Hal ini juga dipengaruhi sikap petugas kesehatan terhadap KB dan peranannya dalam memberikan bantuan medis. Karena umumnya pelayanan keluhan sangat terbatas.

  1. Perspektif Gender

Di indonesia terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena lemahnya posisi tawar wanita dalam kesehatan reproduksi, mencakup: hak untuk mendapatkan berbagai informasi tentang kesehatan reproduksi, termasuk hak dalam menentukan kapan ingin memiliki anak dan jarak antar kehamilan/ kelahiran yang aman, hak menentukan jumlah anak yang diinginkan, hak pelayanan keluraga berencana, dst.

Selain kurangnya pengetahuan juga disebabkan faktor dominasi suami dalam rumah tangga, sehingga akses untuk mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang komprehensif jadi terhambat. Contoh: dalam keluarga sudah memiliki 3 anak perempuan namun suami tetap menginginkan istrinya hamil lagi untuk mendapatkan anak laki-laki, di sisi lain tidak menghiraukan resiko yang mungkin timbul dan tanpa memandang hak istri dalam kesehatan reproduksi.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah budaya atau adat yang berlaku di wilayah tersebut. Masih adanya kepercayaan melahirkan ke dukun, juga masih adanya kebiasaan adat yang merugikan seperti: tidak boleh periksa hamil sebelum 3 bulan, tidak boleh keluar rumah sebelum nifas 40 hari, larangan mengkonsumsi daging, ikan dll. Apabila perempuan melanggar aturan yang berlaku di masyarakat umumnya menjadi bahan gunjingan dan bahkan bisa di acuhkan masyarakat lain. Hal-hal tersebut merupakan perspektif gender yang merugikan kaum wanita, serta menyumbang masih tingginya Angka Kematian Ibu di Indonesia.

  1. Ketimpangan Gender

Pada awal munculnya HIV/AIDS di indonesia di anggap sebagai penyakit impor. Media masa serta pejabat pemerintahah terkesan menutupi dan tidak mengakui hal tersebut. Padahal penyebabny adalah masalah seksual (adanya homoseksual dan perilaku seks bebas), namun stigma terhadap pegawai seks komersial tetap tidak melihat pada seringnya berganti pasangan, poligami dan kawin cerai. Upaya pencegahannya dengan kampanye seks yang aman karena takut diselewengkan menjadi seks bebas.

Sedangkan penanganan HIV/AIDS melalui pendekatan moral yang tidak konvensional dengan melihat pada pola perilaku nyata. Sosialisasi penggunaan kondom untuk menghindari bahaya penularan penyakit seksual. Hal ini adalah upaya yang paling minim diantara keburukan yang lain.

BAB 3

PENUTUP

3.1  KESIMPULAN

Seks adalah karakteristik biologis seseorang yang melekat sejak lahir dan tidak bisa diubah kecuali dengan operasi. Alat-alat tersebut menjadi dasar seseorang dikenali jenis kelaminnya sebagain perempuan atau laki-laki.

Definisi  gender sebagai “ the significance a society attaches to biological cathegories of female and male”, yaitu arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan.

Ada beberapa sub bahasan dalam makalah ini, antara lain: gender dan sosialisasi, gender dan stratifikasi, gender dan pendidikan, gender dan pekerjaan, gender dalam kesehatan.

Tidak ada satu pun teori yang khusus digunakan untuk mengkaji permasalahan gender. Teori-teori yang dikembangkan untuk gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama teori-teori sosiologi dan teori psikologi. Teoriteori dimaksud adalah Teori Struktural-Fungsional, Teori Sosial-Konflik, Teori Feminisme Liberal, Teori Feminisme Marxis-Sosialis, Teori Feminisme Radikal, Teori Ekofeminisme, dan Teori Psikoanalisa.

Perspektif gender di indonesia terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena lemahnya posisi tawar wanita dalam kesehatan reproduksi, mencakup: hak untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi, hak menentukan kapan dan jarak antar kehamilan/ kelahiran yang aman, menentukan jumlah anak, hak pelayanan keluraga berencana, dst.

3.2  SARAN

Tiada kesempurnaan di dunia ini kecuali Allah yang Esa, seperti itu pula makalah ini. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ”Perspektif Gender” ini masih belum sempurna, masih banyak materi yang belum di tulis maupun berbagai kesalahan penulisan maupaun ejaan. Untuk itu penulis menerima kritik maupun saran dari pembaca untuk perbaikan penyusunan makalah ini.

DAFTAR   PUSTAKA

Modul Sosiologi Komunikasi oleh Heri Budiyanto S.Is M.Si pokok bahasan Gender dan media masa : Pusat pengembangan Bahan ajar UMB.

Gender, kesehatan dan pelayanan kesehatan, mata kuliah ilmu sosial dan kesehatan masyarakat oleh Ratna Siwi Fatmawati, 6/5/2010

Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta, Gramedia,1985

Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997

Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998

Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996

Munir, Lily Zakiyah, (ed). Memposisikan Kodrat. Bandung: Mizan, 1999

Noor, H. M. Arifin, Drs. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia, 1997

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997

Soelaeman, M. Munandar. Ir. MS. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Refika Aditama, 1998

By verdiane Dikirimkan di Healthy

Tinggalkan komentar